BeritaMengapa Bukan Deki Hastian dan Juwaidi Mazuki yang Juara?

24 April 2023

LAPORAN DARI ANTALYA

Satu tembakan yang mahal. Satu tembakan itu pula yang mengantar Sullivan hingga ke babak final, menghadapi Bosansky. Sullivan membidik di angka 9, sedangkan Deki di angka 8. Pertandingan selesai untuk Sullivan.

ANTALYA, 24 April 2023 – Di antara semua pemanah compound, baik putra dan putri, yang berlaga di Hyundai Archery World Cup Stage (AWCS) I, hanya ada dua pemanah yang mampu mencatatkan rekor sempurna. Itu artinya, dalam lima kali putaran dengan tiga anak panah, keduanya mampu mendaratkan anak panah pada poin 10 atau X, dan berhak atas total poin sempurna 150. Perfecta Score!

Adalah Deki Andika Hastian, atlet panahan compound Indonesia, dan Mohd Juwaidi Mazuki, atlet compound asal Malaysia, keduanya adalah pemilik rekor perfecta score tersebut. Deki mendulang total poin sempurna itu pada babak tiga puluh dua besar, ketika mengalahkan pemanah asal Kroasia, Domagoj Buden. Deki mengumpulkan enam kali X dan selebihnya adalah 10, untuk membenamkan Buden dengan skor sempurna 150 -144.

Juwaidi memiliki rekor tertinggi untuk perfecta score. Dia dua kali mendapatkan poin sempurna. Pertama kali dia torehkan saat mengalahkan Yu Ping Pan, pemanah asal China Taipei di babak perdelapan besar dengan skor 150 – 144.

Skor sempurna yang sama juga dia dapatkan ketika kembali berlaga di babak perempatfinal. Lawannya adalah juara beregu campuran di compound, Ojas Pravin Deotale asal India. Sulit memang untuk mengalahkan India di ajang tersebut, mengingat India sedang naik daun dan tampil menakutkan di semua lini. Namun, dengan kesempurnaan, Juwaidi membekuk Deotale dengan skor 150 – 148.

Deki dan Juwaidi menapaki jalan dan kesuksesan yang berbeda-beda pada ajang ini. Olahraga terukur seperti panahan seharusnya akan dengan mudah mendapatkan letak kelemahan pada setiap atlet, pada setiap pertandingan. Apalagi, Deki dan Juwaidi berhasil mencatatkan skor sempurna dari sekian banyak atlet compound putra putri yang ikut pada ajang tersebut.

Jyothi Surekha Vennam, yang tampil mengerikan pada babak semifinal dan final, juga tak satu pun kesempatan menorehkan catatan tembakan dengan perfecta score. Tembakan terbaiknya ada di total poin 148 pada babak semifinal untuk membekuk world number one Ella Gibson dari Inggris Raya, dan 149 demi memenangkan medali emas dari Sara Lopez. Artinya, ada satu tembakan yang meleset, entah di angka 8 atau 9.

Berbeda dengan Josef Bosansky, yang menurut pengakuan dia, sangat tidak menyangka bisa mendapatkan medali emas di compound putra. “Saya sepertinya mendapatkan hadiah kejutan dan saya ingin berlari dari kejutan itu untuk sejenak menangis,” kata dia.

Sama seperti Vennam, Bosansky tak pernah sekalipun menorehkan perfecta score. Skor terbaiknya adalah di babak final, ketika harus berhadapan dengan lawan tangguh, the rising star compoun putra yang masih berusia 17 tahun, Sawyer Sullivan dari Amerika Serikat. Bosansky menorehkan total poin 149, atau nyaris kalah dari Sullivan yang tidak kalah kompetitifnya di final dengan poin 148.

Namun, mengapa Deki dan Juwaidi, pemegang rekor perfecta score itu tidak berdaya berhadapan dengan Sullivan dan Bosansky? Dengan skor sempurna, Juwaidi harusnya bisa dengan mudah melahap Bosansky pada babak semifinal. Jalan itu terbuka lebar, mengingat dua kali penampilan gemilangnya di babak sebelumnya.

Tekanan tentu saja ada pada Bosansky. Namun, apa daya sihir perfecta score itu pun hilang seketika. Juwaidi kalah dari Bosansky dengan skor 145 – 147. Empat kali tembakannya meleset ke poin 8 dan 9.

Dia memang akhirnya membayar lunas penampilannya dengan mengkanvaskan Mike Schloesser, world number one, pada perebutan perunggu. Juwaidi bermain di angka 9, 10, dan X, sedangkan Schloesser satu kali meleset ke angka 8. Total poin menjadi 148 – 146 untuk Juwaidi.

Sementara Deki tersingkir lebih awal di babak enam belas besar. Sama seperti Juwaidi, sihir perfecta score itu mendadak hilang berhadapan dengan anak muda dari Amerika Serikat itu. Sempat memimpin dengan poin sempurna 30 – 28, lalu dilanjutkan dengan 59 – 57, dan pada putaran ketiga 87 – 85, Deki tidak bisa mempertahankan keunggulan. Pada putaran keempat dia cuma mengumpulkan 28 poin, sedangkan Sullivan 30 poin, dengan total skor menjadi seri 115 – 115.

Dalam situasi tersebut, mental memang menjadi penentu segalanya. Tidak boleh ada yang terpeleset sedikit pun. Tidak boleh ada gangguan apapun. Yang ada hanyalah fokus, fokus, dan fokus. Deki tetap memberikan perlawanan 144 – 144, sama kuat pada putaran terakhir, dan pertandingan harus dilanjutkan dengan shoof off.

Satu tembakan yang mahal. Satu tembakan itu pula yang mengantar Sullivan hingga ke babak final, menghadapi Bosansky. Sullivan membidik di angka 9, sedangkan Deki di angka 8. Pertandingan selesai untuk Sullivan.

Apa yang membedakan Deki, Juwaidi, Bosansky, Sullivan, atau Mike Schloesser di olahraga terukur itu?

https://www.indonesiaarchery.org/wp-content/uploads/2023/03/all-logo-copy.png

All contents © copyright Indonesia Archery. All rights reserved.