BeritaCerita dari Legenda: Kita Harus Satu Kesatuan, Tidak Boleh Jalan Sendiri-Sendiri

4 Juli 2023

70 TAHUN PERPANI, BAGIAN 3

Waktu itu campur aduk, antara senang dan gugup luar biasa. Melepaskan ketegangan, sempat kami saling ngobrol, “Yang penting nembak saja. Apapun hasilnya, kita sudah dapat medali.”

Jakarta, 04 Juli 2023 – 35 tahun sudah Tiga Srikandi Panahan Indonesia, Nurfitriyana Saiman, Lilies Handayani, dan Kusuma Wardhani, meraih medali perak pada Olimpiade 1988 di Seoul, Korea Selatan. Dalam perjalanan usia PERPANI yang kini menginjak 70 tahun, prestasi Tiga Srikandi tersebut belum sedikit pun tergeser. Perak tersebut juga adalah rekor lain, sebagai medali pertama yang diraih Indonesia sejak keikutsertaan di ajang multievent terbesar di dunia itu pada 1952.

Pada moment 70 tahun PERPANI, indonesiaarchery.org berkesempatan ngobrol bareng Lilies Handayani, salah satu dari legenda hidup Tiga Srikandi Panahan Indonesia. Simak obrolan kami di bawah ini:

Bagaimana awal mula bergabung di Pelatnas Panahan?
Waktu itu sebenarnya ada lima atlet panahan putri yang potensial, di antaranya Nurfitriyana, Kusuma, Fitrizal Iriani, Tanti, dan Saya, Dua bulan mendekati olimpiade, kami bertiga diberi kabar sebagai atlet yang lolos seleksi pelatnas untuk ke olimpiade. Saya sendiri tidak menyangka terpilih, karena skor saya waktu itu cuma 900-an sekian, tidak punya tenaga untuk menarik busur. Tetapi, Donald Pandiangan, pelatih panahan saat itu, yakin sekali dengan kemampuan saya, dan minta kepada tim pelatih agar saya dicoba sekitar sebulan.

Apa yang dipersiapkan selama sebulan?
Dengan kepercayaan dari pelatih, pertama-tama, saya kuatkan motivasi untuk mau berlatih sesuai instruksi pelatih. Harus komit untuk disiplin, tidak mendahulukan rekreasi, apalagi dulu belum ada gadget. Setiap hari kami berlatih, termasuk karantina waktu itu di Sukabumi. Padahal, saya baru saja menikah. Tetapi, karena watak disiplin dan keras dari Bang Pandi, yang percaya sepenuhnya dan punya intuisi terhadap kemampuan saya, selama sebulan itu skor saya naik di kisaran 1225 – 1245, di bawah Nurfitriyana.

Yang jadi kunci keberhasilan, apa saja?
Selain soal kemauan dan kedisiplinan,salah satunya adalah Bang Pandi punya wewenang penuh terhadap atletnya. Dia yang paling tahu kondisi atlet dan punya menu latihan khusus untuk setiap atlet. Dia juga seorang motivator yang bagus, yang mampu mengeluarkan kemampuan terbaik atlet. Kalau untuk sekarang, antara atlet, pelatih, pengurus harus satu kesatuan, tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.

Hal lain adalah dukungan PB terhadap atletnya. Ini saya rasakan ketika saya harus mencari peralatan panah yang lebih cocok dengan karakter saya. Saya yang paling pendek di antara Tiga Srikandi, sulit untuk cari alat yang cocok. PB, waktu itu melalui almarhum Bob Hasan menyediakan peralatan panahan dari Eropa yang cocok untuk saya.

Apakah ada turnamen yang diikuti jelang Olimpiade?
Sekitar satu setengah bulan sebelum olimpiade, kami mutar ke Belanda untuk mengikuti turnamen. Kami juga mengikuti Kejuaraan Nasional di Jerman. Saya menjadi perempuan pertama yang mampu menembus skor 1300 – 1400. Saat itu, belum ada atlet perempuan Indonesia yang mencapai skor tersebut. Skor nasional perempuan tertinggi sekitar 1262, cuma putra yang mencapai 1300. Sementara itu, Korea Selatan waktu itu sudah bisa menembus 1340 – 1360.

Dengan hasil tersebut, memberi pengaruh besar untuk Olimpiade?
Sayangnya, peak performance saya justru tidak terjadi di olimpiade. Dalam evaluasi setelah olimpiade, saya baru tahu dari Bang Pandi, peak performace saya itu justru terjadi di Belanda. Kelihatan dari hasil kualifikasi perseorangan saya di olimpiade. Saya langsung tersingkir di babak pertama. Beruntungnya, peak performance Nurfitriyana dan Kusuma justru terjadi di olimpiade. Jadi, dengan rangkaian turnamen yang kita ikuti jelang olimpiade, pelatih harusnya menjadi sosok penting dalam mengatur peak performance kita. Saya sendiri waktu itu, terlalu termotivasi dengan dorongan Bang Pandi untuk harus selalu juara di setiap turnamen yang saya ikuti.

Bagaimana mengatasi kegagalan di hari pertama?
Saya disuruh Bang Pandi jalan-jalan saja, refreshing, satu hari tidak ke lapangan. Sementara Nurfitriyana dan Kusuma masih bertanding. Di saat itu, saya kembali menata motivasi dan fokus saya. Pada akhirnya saya kembali bertanding bersama Nurfitriyana dan Kusuma di nomor beregu putri. Kami melewati babak demi babak, dari 32 besar, 24 besar, 12 besar, dan sampai ke Semifinal. Waktu itu tinggal Korea Selatan, Amerika Serikat, Uni Soviet, dan Indonesia. Uni Soviet akhirnya gugur di babak semifinal.

Perasaannya ketika sampai di babak final?
Campur aduk, antara senang dan gugup luar biasa. Melepaskan ketegangan, sempat kami saling ngobrol, “Yang penting nembak saja. Apapun hasilnya, kita sudah dapat medali.”

Sampai dapat perak, ceritanya seperti apa?
Memang sistem pertandingan tidak seperti saat ini. Kita harus menembak dengan jarak 30 meter, 50 meter, 60 meter, dan 70 meter. Pada akhirnya skor kita dengan Amerika Serikat sama kuat dan harus melalui babak shoot off. Dalam tanding ulang di jarak 70 meter itu, kami mengumpulkan poin 72, sedangkan Amerika Serikat 62 poin. Salah satu anak panah Amerika Serikat mendarat di luar sasaran alias meleset ke rumput.

Rekor Tiga Srikandi belum terpecahkan, apa yang salah?
Kuncinya satu, jauhkan PERPANI dari kepentingan, yang bikin ribet, sampai ribut terus. Atlet tidak boleh dijadikan sebagai objek, tetapi subjek. Kita juga harus menghormati sistem dan kompak untuk merawat sistem dan kebersamaan. Atlet, pelatih, pengurus harus satu kesatuan. Dalam hal merekrut atlet, kita harus bisa membuat sebuah sistem yang dapat mengakomodir atlet terbaik yang terpilih. Dengan sistem yang jelas, berbagai turnamen di daerah, hingga ke jenjang nasional disinergikan sehingga selain daerah terpacu untuk menghasilkan atlet terbaik, tetapi juga PB PERPANI akhirnya dengan mudah bisa menentukan pilihan untuk atlet terbaik. Kejurnas Junior, Kejurnas Senior, dan Seleknas harus bisa menghasilkan atlet terbaik.

Persaingan Indonesia dengan negara lain sekarang seperti apa?
Saya juga masuk dalam rombongan ke Antalya, Turki, dan Shanghai, China. Sangat kelihatan, Indonesia mulai diperhitungkan negara-negara lain. Walaupun dengan sistem undian, atlet Indonesia bisa disejajarkan dengan tim-tim kuat dari negara lain. Dengan cara demikian, negara lain ingin melihat skor atlet-atlet Indonesia. Memang persiapan kita mepet untuk dua turnamen tersebut, yang pada akhirnya tidak mungkin atlet-atlet kita langsung dapat skor bagus. Apalagi di antara mereka, ada juga yang masih junior dan belum banyak jam terbang untuk bertanding di luar negeri.

Pesan untuk 70 tahun PERPANI?
Ke depan kita perlu membimbing atlet-atlet junior. Komposisi pelatnas saat ini diisi oleh atlet-atlet senior, yang membutuhkan atlet pelapis yang kuat. Saya senang di momen 70 tahun ini, PERPANI serius mempersiapkan Kejurnas Junior. Itu merupakan langkah strategis yang tepat, agar kita bisa mengakomodir atlet-atlet yang bagus sejak dari junior. Apalagi kalau dibarengi dengan strategi promosi yang bagus.  Saya juga berharap atlet kita mendapat medali di Berlin, sehingga menjadi motivasi yang bagus untuk junior-juniornya. Ya, jangan sampai ada kepentingan lagi!

https://www.indonesiaarchery.org/wp-content/uploads/2023/03/all-logo-copy.png

All contents © copyright Indonesia Archery. All rights reserved.